Menulis Cerita Anak Berkarakter, Begini Caranya!

Menulis cerita anak gampang-gampang susah. Mengapa demikian? Penulis cerita harus tahu kemauan audiennya, mulai dari minat dan kesukaan. Tidak hanya itu, penulis pun harus ‘berani’ dan bisa mengingat masa kecilnya: menjelma jadi anak. Mengingat masa kecil merupakan tips yang jitu yang bisa mengalirkan cerita sesuai dengan karakter anak. Bisa memahami betul apa yang menjadi kebutuhan dari komunikasi anak.

Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, ketakutan yang bakal terjadi adalah karya cerita anak yang berhasil dibuat itu kandungan isinya berbeda dengan karakter anak. Bisa jadi, cerita anak hanya bungkusnya saja, tetapi isinya adalah karakter anak remaja, atau bahkan orang dewasa.

Semisal, ketika alur cerita mendekati akhir, ketika tokoh menjalani konflik menuju peleraian, kehadiran tokoh dewasa sangat dibutuhkan. Tokoh ini harus memosisikan diri menyampaikan pesan bijak, tetapi tidak boleh terjebak memberikan simpulan yang menyebabkan anak (dalam tokoh cerita) hanya sebagai ‘penonton’ belaka.

Penulis Harus Peka

Penulis harus peka. Tokoh orang dewasa harus diposisikan sebagai pembawa pesan semata, sedangkan tokoh anaklah yang menjadi aktor yang menyimpukkan sendiri cerita. Bahwa perbuatan sombong, semaunya gue, tidak toleransi, semena-mena, itu adalah karakter yang kurang baik dan akan menimbulkan hal negatif.

Kalau hal ini bisa dilakukan, maka penulis juga sekaligus mampu menjaga jarak. Dia ‘tidak menjadi guru dalam cerita’, tetapi tetap memberikan panggung anak untuk mengetahui sendiri mana yang baik dan mana karakter yang bisa menimbulkan kurang sesuai.

“Cerita kita tidak terkesan menggurui anak.”

Cukup membuat sang tokoh menyesal dan merasakan akibat dari perbuatannya. Dari situlah unsur koda, perubahan karakter, sudah kita lakukan. Tokoh antagonis tidak perlu kita matikan, tetapi disadarkan. Ini akan lebih tepat sehingga pembaca akan bisa memahami pendidikan yang diberikan dalam cerita.

Buat Anak Berpikir Kritis

Menulis cerita anak tidak sekadar menghibur tetapi harus mendidik. Artinya, kandungan pesan yang disampaikan harus memiliki valuable, bernilai. Mampu memberikan nilai pendidikan karakter bagi pembaca.

Untuk membawa pesan mendidiknya sesuai dengan yang diharapkan, penulis pun harus pandai-pandai memilih tokoh, karakter, setting, alur, dan ending yang unik agar melekat erat diingatan anak. Selain itu, bahasa yang digunakan pun harus sederhana, mudah dipahami, menarik, memancing daya imajinasi, kreatif, dan membuat anak berpikir kritis terhadap isi cerita.

“Yang tidak kalah penting dan harus diperhatikan adalah penulis tidak memakai kata-kata bersayap atau ambigu yang justru membuat anak bingung.”

Konflik danHappy Ending

Cerita anak harus digarap sederhana, simpel, tanpa mengurangi dari konten isi yang ingin disampaikan pada pembaca. Untuk itu, masalah atau konflik tetap dimunculkan untuk menumbuhkan kemenarikan dan tantangan. Ada saat-saat tidak nyaman, tetapi bukan saat-saat kelam.

Di bagian akhir cerita, penulis harus memperhatikan ending-nya. Karena perasaan anak itu peka, maka anak harus disuguhi dengan akhir cerita yang bahagia, happy ending saja. Cerita yang berakhir dengan bahagia dan adil. Hal ini supaya pembaca bisa lebih lekat, dekat, akrab, dan ‘tersenyum’ pastinya. (*)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *